Hilangnya sebuah Kehilangan
00.38 |
Pada suatu hari ada seorang anak yang sedang kehilangan uangnya senilai Rp.10.000, anakitu pun menagis terseddu-sedu, melihat hal tersebut Paman anak ini merasa kasihan, kemudian dia menghampiri anak itu.
“Kenapa kamu menangis?” tanya pamannya dengan penuh kasih sayang.
“Uang saya hilang Rp10.000.” katanya sambil terisak-isak.
“Tenang saja, nich paman ganti yah… paman kasih Rp10.000 buat kamu. Jangan menangis yah!” kata pamannya sambil menyerahkan selembar uang Rp10.000. Namun, sia anak tetap saja menangis. Kenapa?
“Kenapa kamu masih menangis saja? Kan sudah diganti?” tanya pamannya.
“Kalau tidak hilang… uang saya sekarang Rp 20.000.” kata anak itu dan terus menangis.
Pamannya bingung…
“Terserah kamu saja dech….”, katanya sambil pergi.
Ayahnya yang baru pulang kantor mendapati anaknya masih menangis.
“Kenapa sayang? Koq menangis sich. Lihat mata kamu, sudah bengkak begitu. Nangis dari tadi yah?” tanyanya sambil menyeka air mata anaknya.
“Uang saya hilang Rp10.000.” kata anaknya mengadu.
“Ooohhh. Lho itu punya uang Rp10.000? Katanya hilang?” tanya ayahnya yang heran karena dia melihat anaknya memegang uang Rp10.000
“Ini dari paman…. uang saya hilang. Kalau tidak hilang saya punya Rp20.000.” jawabnya sambil terus menangis.
“Sudahlah…. nih ayah ganti. Ayah ganti dengan uang yang lebih besar. Ayah kasih kamu Rp20.000. Jangan menangis lagi yah!” kata ayahnya sambil menyerahkan selembar uang Rp20.000.
Si anak menerima uang itu. Tetapi masih tetap saja menangis. Ayahnya heran, kemudian bertanya lagi.
“Kenapa masih menangis saja? Kan sudah diganti?”
“Kalau tidak hilang, uang saya Rp40.000.”
Ayahnya hanya geleng-geleng kepala.
“Kalau gitu dikasih berapa pun, kamu akan nangis terus.” sambil mengendong anaknya.
Apakah kisah ini nyata? Tidak, ini hanya rekayasa. Dalam kenyataannya banyak orang yang memiliki sikap seperti anak tadi. Dia hanya melihat apa yang tidak ada, dia hanya melihat apa yang kurang, tanpa melihat sebenarnya dia sudah memiliki banyak hal. Sifat manusia yang selalu merasa kurang padahal nikmat Allah begitu banyaknya sudah dia terima.
Jangan mencari apa yang tidak atau belum ada pada diri anda. Tapi bersyukurlah dengan apa yang ada, dan manfaatkan dengan sebaik-baiknya dan maksimal untuk kemajuan dan kesuksesan anda.
Comments 0
Diposting oleh
Zulfilasmi
Cambuk Hati
22.53 |
Kasihan anak Adam
Padahal mengangkat bebatuan lebih mudah baginya daripada meninggalkan dosa-dosa!
Barang siapa tidak ridha kepada Alloh karena larangan-NYA
Pastilah ia tidak akan selamat dari larangan-NYA.
Barangsiapa yang memusatkan hatinya kepada Allah
Niscaya akan terbukalah sumber-sumber hikmah dalam hatinya dan mengalir melalui lisannya.
Malam itu panjang, maka janganlah engkau memendekkannya dengan tidurmu
Siang itu bersih, maka janganlah engkau mencemarinya dengan dosa-dosamu.
Padang di dunia ditempuh dengan jalan kaki
Padang di akhirat ditempuh dengan hati
Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah seorang lelaki yang lemah dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanat.
Sesungguhnya kalian sangat antusias kepada jabatan, padahal jabatan akan menjadi penyesalan dan kekecewaan pada hari kiamat nanti.Jadi, jabatan itu mengenakkan,Tetapi buruk kesudahannya (bagi yang bersangkutan). (HR. Bukhari, Ahmad dan Nasai)
Para qadhi itu ada tiga macam, yang dua orang dimasukkan ke neraka sedang yang dimasukkan ke dalam surga hanya seorang. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Jika kamu menyendiri dengan hal yang mencurigakan dalam kegelapan
Sedang hawa nafsu mendorongmu untuk berbuat melampaui batas
Maka malulah kepada penglihatan tuhan
Dan katakan kepada dirimu
Sesungguhnya Tuhan yang menciptakan kegelapan melihatku.
Seandainya saja kamu merasa manis sekalipun hidup ini pahit
Dan seandainya saja kamu merasa puas sekalipun orang-orang lain marah
Apabila kecintaanmu benar maka semuanya akan terasa mudah
Karena tiap-tiap orang yang ada di muka bumi
Semuanya berasal dari tanah
Jagalah lisanmu!
Jangan kamu menyebut kekurangan seseorang
Karena kamu pun mempunyai kekurangan dan orang lain mempunyai lisan
Jagalah matamu! Jika terlihat olehmu aib suatu kaum maka katakanlah
Hai mataku, orang lain pun mempunyai mata.
( Dr. Aidh Abdullah Al-Qarni )
Diposting oleh
Zulfilasmi
Karena Ukuran Kita Tak Sama
20.18 |
Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya, memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti ,memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan, kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi.
Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah
padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara,
ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu
masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan
dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.
Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah
dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang
beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan
buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,
“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul
Mukminin?!”
Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al
Khaththab.
”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga
dari pintu dangaunya,
“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah
kemari!”
Dinding dangau di samping Utsman berderak keras
diterpa angin yang deras.
”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut
Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!”,
’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah
dan bukit di sekalian padang.
“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh
pembantuku menangkapnya untukmu!”.
”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”
“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya
Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“
“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai
‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”
Angin makin kencang membawa butiran pasir membara.
‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya &
bergumam,
”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau
memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”
‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka
berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.
‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di
tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum
mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan
tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.
‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya,
datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman
sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan
mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan
kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi
perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh
sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah
& dibekalinya bertimbun dinar.
Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.
Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman
berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan
dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.
“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar
Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku
menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan
tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”
Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang
tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang
harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau
baju milik tokoh lain lagi.
Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya.
Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam
angannya.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada
saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan
cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara
yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara
menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang
dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar
menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.
Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi
orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh
lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu,
punya jawaban yang telak dan lucu.
“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata
lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa
di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”
“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu
Bakar dan ‘Umar, Rakyatnya seperti aku, Adapun di zamanku ini, rakyatnya
seperti kamu!”
Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi
Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain
berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.
Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash
melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya
jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah
diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak
perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.
Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga
menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah
kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.
Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati
memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan
masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi
akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang
masa.
Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa
sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama
mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi tak lagi terpisah sebagai “haq” dan
“bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.
Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya
lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.
Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu
tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.
Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan
indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung
kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung
kebenaran.”
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah
Diposting oleh
Zulfilasmi
Sepatu Terakhir
01.36 |
Olimpiade Barcelona, 1992.
Enam puluh lima ribu pasang mata hadir di stadion itu. Semua hendak menyaksikan event atletik besar di ajang olahraga terbesar seplanet bumi.
Nama lelaki itu Derek Redmond, seorang atlet pelari olimpiade asal Inggris.
Impian terbesarnya ialah mendapatkan sebuah medali olimpiade, -apapun
medalinya-. Derek sebenarnya sudah ikut di ajang olimpiade sebelumnya, tahun
1988 di Korea. Namun sayang beberapa saat sebelum bertanding, ia cedera
sehingga tak bisa ikut berlomba. Mau tak mau, olimpiade ini, adalah kesempatan
terbaiknya untuk mewujudkan mimpinya. Ini adalah hari pembuktiannya, untuk
mendapatkan medali di nomor lari 400 meter. Karena ia dan ayahnya sudah
berlatih sangat keras untuk ini.
Suara pistol menanda dimulainya perlombaan. Latihan keras yang dijalani Derek Redmond, membuatnya segera unggul melampaui lawan-lawannya. Dengan cepat ia sudah memimpin hingga meter ke 225. Berarti kurang 175 meter lagi. Ya, kurang sebentar lagi ia kan mendapatkan medali yang diimpikannya selama ini.
Namun tak ada yang menyangka ketika justru di performa puncaknya, ketika ia sedang memimpin perlombaan tersembut, tiba-tiba ia didera cedera. Secara tiba-tiba di meter ke 225 tersebut, timbul rasa sakit luar biasa di kaki kanannya. Saking sakitnya, seolah kaki tersebut telah ditembak sebuah peluru. Dan seperti orang yang ditembak kakinya, Derek Redmond pun menjadi pincang. Yang ia lakukan hanya melompat-lompat kecil bertumpu pada kaki kirinya, melambat, lalu rebah di tanah. Sakit di kakinya telah menjatuhkannya.
Derek sadar, impiannya memperoleh medali di Olimpiade ini pupus sudah.
Melihat anaknya dalam masalah, Ayahnya yang berada di atas tribun, tanpa berpikir panjang ia segera berlari ke bawah tribun. Tak peduli ia menabrak dan menginjak sekian banyak orang. Baginya yang terpenting adalah ia harus segera menolong anaknya.
Di tanah, Derek Redmond menyadari bahwa impiannya memenangkan olimpiade pupus sudah. Ini sudah kedua kalinya ia berlomba lari di Olimpiade, dan semuanya gagal karena cidera kakinya. Namun jiwanya bukan jiwa yang mudah menyerah. Ketika tim medis mendatanginya dengan membawa tandu, ia berkata, “Aku tak akan naik tandu itu, bagaimanapun juga aku harus menyelesaikan perlombaan ini”, katanya.
Maka Derek pun dengan perlahan mengangkat kakinya sendiri. Dengan sangat perlahan pula, sambil menahan rasa sakit dikakinya, ia berjalan tertatih dengan sangat lambat. Tim medis mengira bahwa Derek ingin berjalan sendiri ke tepi lapangan, namun mereka salah. Derek ingin menuju ke garis finish.
Di saat yang sama pula Jim, Ayah Derek sudah sampai di tribun bawah. Ia segera melompati pagar lalu berlari melewati para penjaga menuju Anaknya yang berjalan menyelesaikan perlombaan dengan tertatih kesakitan. Kepada para penjaga ia hanya berkata, “Itu anakku, dan aku akan menolongnya!”
Akhirnya, kurang 120 meter dari garis finish, sang Ayah pun sampai juga di Derek yang menolak menyerah. Derek masih berjalan pincang tertatih dengan sangat yakin. Sang Ayah pun merangkul dan memapah Derek. Ia kalungkan lengan anaknya tersebut ke bahunya.
“Aku disini Nak”, katanya lembut sambil memeluk Anaknya, “dan kita akan menyelesaikan perlombaan ini bersama-sama.
Ayah dan anak tersebut, dengan saling berangkulan, akhirnya sampai di garis finish. Beberapa langkah dari garis finish, Sang Ayah, Jim, melepaskan rangkulannya dari anaknya agar Derek dapat melewati garis finish tersebut seorang diri. Lalu kemudian, barulah ia merangkul anaknya lagi.
Enam puluh lima ribu pasang mata menyaksikan mereka, menyemangati mereka, bersorak bertepuktangan, dan sebagian menangis. Scene Ayah dan anak itu kini seolah lebih penting daripada siapa pemenang lomba lari.
Derek Redmond tak mendapat medali, bahkan ia didiskualifikasi dari perlombaan. Namun lihatlah komentar Ayahnya.
“Aku adalah ayah yang paling bangga sedunia!, Aku lebih bangga kepadanya sekarang daripada jika ia mendapatkan medali emas.”
Dua tahun paska perlombaan lari tersebut, dokter bedah mengatakan kepada Derek bahwa Derek tak akan lagi dapat mewakili negaranya dalam perlombaan olahraga.
Namun tahukah kalian apa yang terjadi?
Lagi-lagi, dengan dorongan dari Ayahnya, Derek pun akhirnya mengalihkan perhatiannya. Dia pun menekuni dunia basket, dan akhirnya menjadi bagian dari timnas basket Inggris Raya. Dikiriminya foto dirinya bersama tim basket ke dokter yang dulu memvonisnya takkan mewakili negara dalam perlombaan olahraga.
Jika kasih ibu, adalah melindungi kita dari kelamnya dunia, maka kasih sayang seorang Ayah adalah mendorong kita untuk menguasai dunia itu. Seorang Ayah akan senantiasa mendukung, memotivasi, men-support, dan membersamai kita dalam kondisi apapun. Ayah pulalah yang akan meneriakkan kita untuk bangkit, lalu memapah kita hingga ke garis finish. Karena mereka tak ingin kita menyerah pada keadaan, sebagaimana yang ia contohkan. ( Cuplikan Novel Sepatu Terakhir )
Suara pistol menanda dimulainya perlombaan. Latihan keras yang dijalani Derek Redmond, membuatnya segera unggul melampaui lawan-lawannya. Dengan cepat ia sudah memimpin hingga meter ke 225. Berarti kurang 175 meter lagi. Ya, kurang sebentar lagi ia kan mendapatkan medali yang diimpikannya selama ini.
Namun tak ada yang menyangka ketika justru di performa puncaknya, ketika ia sedang memimpin perlombaan tersembut, tiba-tiba ia didera cedera. Secara tiba-tiba di meter ke 225 tersebut, timbul rasa sakit luar biasa di kaki kanannya. Saking sakitnya, seolah kaki tersebut telah ditembak sebuah peluru. Dan seperti orang yang ditembak kakinya, Derek Redmond pun menjadi pincang. Yang ia lakukan hanya melompat-lompat kecil bertumpu pada kaki kirinya, melambat, lalu rebah di tanah. Sakit di kakinya telah menjatuhkannya.
Derek sadar, impiannya memperoleh medali di Olimpiade ini pupus sudah.
Melihat anaknya dalam masalah, Ayahnya yang berada di atas tribun, tanpa berpikir panjang ia segera berlari ke bawah tribun. Tak peduli ia menabrak dan menginjak sekian banyak orang. Baginya yang terpenting adalah ia harus segera menolong anaknya.
Di tanah, Derek Redmond menyadari bahwa impiannya memenangkan olimpiade pupus sudah. Ini sudah kedua kalinya ia berlomba lari di Olimpiade, dan semuanya gagal karena cidera kakinya. Namun jiwanya bukan jiwa yang mudah menyerah. Ketika tim medis mendatanginya dengan membawa tandu, ia berkata, “Aku tak akan naik tandu itu, bagaimanapun juga aku harus menyelesaikan perlombaan ini”, katanya.
Maka Derek pun dengan perlahan mengangkat kakinya sendiri. Dengan sangat perlahan pula, sambil menahan rasa sakit dikakinya, ia berjalan tertatih dengan sangat lambat. Tim medis mengira bahwa Derek ingin berjalan sendiri ke tepi lapangan, namun mereka salah. Derek ingin menuju ke garis finish.
Di saat yang sama pula Jim, Ayah Derek sudah sampai di tribun bawah. Ia segera melompati pagar lalu berlari melewati para penjaga menuju Anaknya yang berjalan menyelesaikan perlombaan dengan tertatih kesakitan. Kepada para penjaga ia hanya berkata, “Itu anakku, dan aku akan menolongnya!”
Akhirnya, kurang 120 meter dari garis finish, sang Ayah pun sampai juga di Derek yang menolak menyerah. Derek masih berjalan pincang tertatih dengan sangat yakin. Sang Ayah pun merangkul dan memapah Derek. Ia kalungkan lengan anaknya tersebut ke bahunya.
“Aku disini Nak”, katanya lembut sambil memeluk Anaknya, “dan kita akan menyelesaikan perlombaan ini bersama-sama.
Ayah dan anak tersebut, dengan saling berangkulan, akhirnya sampai di garis finish. Beberapa langkah dari garis finish, Sang Ayah, Jim, melepaskan rangkulannya dari anaknya agar Derek dapat melewati garis finish tersebut seorang diri. Lalu kemudian, barulah ia merangkul anaknya lagi.
Enam puluh lima ribu pasang mata menyaksikan mereka, menyemangati mereka, bersorak bertepuktangan, dan sebagian menangis. Scene Ayah dan anak itu kini seolah lebih penting daripada siapa pemenang lomba lari.
Derek Redmond tak mendapat medali, bahkan ia didiskualifikasi dari perlombaan. Namun lihatlah komentar Ayahnya.
“Aku adalah ayah yang paling bangga sedunia!, Aku lebih bangga kepadanya sekarang daripada jika ia mendapatkan medali emas.”
Dua tahun paska perlombaan lari tersebut, dokter bedah mengatakan kepada Derek bahwa Derek tak akan lagi dapat mewakili negaranya dalam perlombaan olahraga.
Namun tahukah kalian apa yang terjadi?
Lagi-lagi, dengan dorongan dari Ayahnya, Derek pun akhirnya mengalihkan perhatiannya. Dia pun menekuni dunia basket, dan akhirnya menjadi bagian dari timnas basket Inggris Raya. Dikiriminya foto dirinya bersama tim basket ke dokter yang dulu memvonisnya takkan mewakili negara dalam perlombaan olahraga.
Jika kasih ibu, adalah melindungi kita dari kelamnya dunia, maka kasih sayang seorang Ayah adalah mendorong kita untuk menguasai dunia itu. Seorang Ayah akan senantiasa mendukung, memotivasi, men-support, dan membersamai kita dalam kondisi apapun. Ayah pulalah yang akan meneriakkan kita untuk bangkit, lalu memapah kita hingga ke garis finish. Karena mereka tak ingin kita menyerah pada keadaan, sebagaimana yang ia contohkan. ( Cuplikan Novel Sepatu Terakhir )
Diposting oleh
Zulfilasmi
Langganan:
Postingan (Atom)