Metodologi Studi Islam

Penulis : Drs. Asep Zaenal

Prolog :

Pendidikan Islam bukanlah sekedar transfer of knowledges atau transfer of values tetapi merupakan aktivitas character building. (pembentukan karakter, kepribadian) Tujuannya agar potensi yang dimiliki anak didik (potential capacity) menjadi kemampuan nyata (actual ability) dan tetap berada dalam posisi suci bersih (fitrah) dan lurus kepada Allah (hanief). Untuk mencapai itu, maka seorang guru harus mengajarkan Islam ilmu (yang berdasarkan dalil), bukan Islam persepsi (yang berdasarkan kira-kira), secara integrated, komprehensif dan. Integrated meliputi penajaman IQ,EQ dan SQ. Tujuannya adalah agar anak memiliki kualitas kognitif (pengetahuan), afektif (keimanan) dan psikomotor (amaliyah) yang lebih baik dengan target akhir adanya perubahan prilaku (behavior change) yang lebih baik (taqwa, muttaqin).

Hakikat Pendidikan Al-Islam :

Pada hakikatnya Pendidikan al-Islam adalah proses bimbingan terhadap anak didik (santri, siswa, mahasiswa) untuk mengembangkan potensi (potential capasity) yang dimilikinya menjadi kemampuan nyata (actual ability) secara optimal sehingga tetap dalam kondisi fitrah dan hanief (lurus) sebagaimana keadaan ketika lahir.
Potensi yang dimiliki anak didik antara lain Intellegence Quotien (IQ), Emotional Quotien (EQ) dan Spiritual Quotien (SQ). Juga potensi bertuhan Allah dan potensi-potensi lainnya.

Tujuan antara Pendidikan al-Islam adalah :

• Aspek Kognitif : Agar mahasiswa memahami al-Islam dengan paradigma yang benar (berfikir paradigmais).
• Aspek Afektif : Agar anak didik mampu mengapresiasi al-Islam secara mendalam sehingga mereka mampu mengimani kebenaran al-Islam, mampu memenej emosinya secara benar, dan mampu mengahayati ajaran al-Islam sehingga dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya.
• Aspek psikomotor : Mampu mengamalkan al-Islam secara komprehensif, baik dalam Hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal 'alam.
Sedangkan tujuan akhir Pendidikan Agama adalah terwujudnya insan yang berperilaku Al-Qur'an, atau manusia yang sanggup melaksanakan seluruh ayat Al-Qur'an tanpa kecuali, secara integratif dan komprehensif, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam bermasyarakat.

Materi Pendidikan Al-Islam :

• Materi Aqidah adalah menanamkan ketauhidan (Tauhid Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah) seraya mencabut sikap syirik dengan akar-akarnya melalui analisis terhadap fenomena alam dan perilaku sosial masyarakat.
• Aspek Syari’ah adalah mengajarkan tentang kaifiyat (tatacara, how to do) tentang ritual (ibadah mahdloh) dan mu’amalah (ibadah ghair mahdloh), beserta falsafahnya sehingga setiap sendi syari'ah terasa mempunyai makna.
• Materi Akhlak adalah memberikan pemahaman tentang dimensi- dimensi akhlak yang meliputi hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam dengan parameter yang jelas, terukur, terdeteksi, menekankan pembiasaan dan perlunya figur sebagai whole model (usawah hasanah).


Cara Mempelajari Islam :

Pengetahuan terbagi dua, yakni pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang belum pasti benar. Pengetahuan yang benar adalah al-ilmu atau alhaq, sedangkan pengetahuan yang salah atau belum pasti benar disebut persepsi. Seorang ustadz, guru, dosen harus mengajarkan Islam Ilmu bukan Islam Persepsi. Islam Ilmu adalah Islam yang berdasarkan dalil, bukan karena pendapat, mayoritas, juga tidak terikat figur atau tradisi nenek moyang.

Untuk memperoleh Islam ilmu, manusia harus menemukan dasar hukum (rujukan) yang jelas, bukan semata-mata perkiraan fikiran, terikat dengan figur atau terikat dengan mayoritas.

Lebih jelasnya sbb :

Pertama : Dengan ilmu, bukan dengan kira-kira Al-Qur'an QS 17 : 36 :
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا(36)

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya".

Kedua : Beragama tidak atas dasar mayoritas, sebab mayoritas tidak menjamin orsinalitas. Perlu menjadi catatan penting bahwa kebenaran hanya ditentukan oleh kualitas argumentasi bukan oleh kuantitas penganutnya.

Ketiga: Beragama tidak boleh atas dasar keturunan atau warisan leluhur (QS. 2 :170) :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ البقرة 170)

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk (QS. 2 : 170).

Keempat : Beragama tidak atas dasar figur (QS.9 :31). :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ َ(31)

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. 6 : 61).

Azas Filosofis dalam Pendidikan Islam :

Islam ilmu yang disampaikan dengan pendekatan yang tepat akan mudah dicerna oleh peserta didik. Oleh karena itu penyajian materi pendidikan al-Islam harus sistimtis, rasional, objektif, komprehensif dan radikal.

• Sistimatis : Berurutan/ runtun, dari mana memulainya, terus ke mana dan bermuara di mana.

• Rasional : Gampang difahami, mampu menjelaskan hubungan sebab akibat, sangat merangsang berfikir, dan tidak dogmatis.

• Objektif : Berdasarkan dalil, jelas rujukannya, bukan sekedar kata orang, kira-kira atau dugaan – dugaan.

• Komprehensif : Yakni menganalisis Islam dari berbagai sisi. Dalam hal ini sangat baik menggunakan multi pendekatan, antara lain Pendekatan Kebahasaan, Kesejarahan, Teologis., Filosofis, Sosiologis, Politis, Ekonomi, Kesehatan, Militer, dll.

• Radikal : Sampai kepada kesimpulan, tajam, menggigit dan sangat menyentuh perasaan dan nurani.

Kedudukan Akal dalam memahami Al-Islam :

Mengenai penggunaan akal / rasio dalam memahami al-Islam, para tokoh pemikir Islam berbeda-beda corak pemikirannya. Paling tidak ada empat corak :

• Tokoh Sinkretik : Sinkretik adalah percampuran antara budaya lokal dengan agama. Tokoh ini sering tidak peduli kepada dalil dan ratio. Pemikiran mereka lebih didominasi oleh sikap sosiologis, cari aman.

• Tokoh Scripturalis /Tekstualis : terikat dengan teks kurang memperhatikan konteks. Para tokoh Sripturalis bukan tidak menggunakan ratio tetapi lebih terikat dengan teks Al-qur’an dan hadits apa adanya.

• Tokoh Rasional Kontekstual : Memperhatikan teks dan konteks. Tokoh ini banyak menggunakan argumentasi rasio di samping melihat teks Al-Qur’an dan hadits.

• Tokoh Rasional Liberal : Tidak terikat teks. Analisis tehdapa ajaran islam yang dilakukan tokoh Rasional Liberal lebih didominasi oleh argumnetasi akal. Beberapa metode pendekatannya adalah Tafsir Metaforis, Tafsir Hermenetika dan pendekatan social kesejarahan.

Dari sini kelak lahirlah faham dan aliran keagamaan. Faham dan aliran adalah dua kata yang seakan-akan bermakna sama karena keduanya menggambarkan adanya suatu pemikiran yang kemudian jadi anutan bahkan pengamalan sebuah kelompok atau komunitas tertentu, tetapi sebenarnya kedua kata itu memiliki perbedaan. Perbedaannya dapat dirinci sebagaimana dijelaskan pada tabel di bawah ini.

PERBEDAAN ANTARA FAHAM DAN ALIRAN

Faham Aliran

1.Kata faham lebih berkonotasi kepada suatu alur pemikiran yang menganut prinsip tertentu.
Kata aliran lebih berkonotasi kepada suatu hasil pemikiran yang eksklusif.

2.Tidak terorganisir, tidak memiliki pemimpin pusat meskipun ia memiliki tokoh sentral yang menjadi figur faham tersebut

Terorganisir : ada ketua, pengurus dan anggotanya serta mempunyai aturan-aturan tertentu

3.Biasanya pengikut suatu faham tertentu adalah orang-orang yang kritis, senang berfikir, terbuka dan menyambut adanya diolog, walaupun tidak selalu demikian. Biasanya para anggotanya tidak dibiarkan berfikir kritis tetapi bersifat taqlâd, dogmatis, tidak suka dialog, anti kritik dan cenderung merasa benar sendiri (truth claim).


Faham apapun sebenarnya merupakan hasil pemikiran, sedangkan hasil pemikiran sangat tergantung kepada paradigma berfikir yang bersangkutan. Dengan demikian, mengetahui paradigma setiap tokoh pemikir adalah sesuatu yang amat penting.
Secara garis besar corak pemikiran tokoh Islam terbagi dua yakni pemikir Rasional dan Pemikir Tradisional.

Apabila ditelusuri jauh ke belakang, akar pemikiran Rasional periode Modern di dunia Islam sebenarnya dipengaruhi oleh pemikiran rasional dari Barat. Walaupun asalnya Barat dipengaruhi pemikiran rasional Islam zaman Klasik. Pemikiran Rasional dibawa oleh para sarjana Barat yang telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan termasuk filsafat dari universitas Cordova ketika Spanyol dikuasai pemerintahan Islam Bani Umayah di bawah pemerintahan Islam pertama yakni Abd ar-Rahmán ad-Dakhili.
Sejarah Pemikiran di dunia Barat secara kronologis dimulai dengan Masa Yunani Kuno (6 abad sebelum Masehi), Masa Hellenika Romawi (abad 4 SM), Masa Parsitik (abad 2 M), Masa Skolastik (abad 8 M), Masa Rennaissanse ( abad 14-16 M), yang kemudian memasuki masa Aufklaerung (abad 18), atau memasuki periode Modern (abad 19) serta postmodernisme (abad 20).

Pada abad 17 muncul pemikiran falsafah Empirisme atau mazhab Empirisme dengan tokohnya antara lain Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704). Kemudian muncul pula mazhab Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650), dan Spinoza (1632-1677).

Rasionalisme dianggap sebagai tonggak dimulainya pemikiran falsafati yang sebenarnya karena benar-benar menggunakan kemampuan ratio untuk memikirkan sesuatu secara mendalam, tidak terpengaruh oleh doktrin agama dan mitos. Mazhab ini menaruh kepercayaan kepada akal sangat besar sekali. Mereka berkeyakinan bahwa dengan kemampuan akal, pasti manusia dapat menerangkan segala macam persoalan, dan memahami serta me-mecahkan segala permasalahan manusia.

Dengan kepercayaan kepada akal yang terlampau besar, mereka menentang setiap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti terjadi pada abad Pertengahan, serta menyangkal setiap tatasusila yang bersifat tradisi dan terhadap keyakinan atau apa saja yang tidak masuk akal. Aliran filsafat Rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Metode yang digunakan oleh Rasio-nalisme ini adalah metode deduktif.

Rene Descartes (1598-1650) sebagai tokoh rasionalisme, dengan berlandaskan kepada prinsip “a priori” meraguragukan segala macam pernyataan kecuali kepada satu pernyataan saja yaitu kegiatan meragu-ragukan itu sendiri. Itulah sebabnya ia menyatakan: ”saya berfikir jadi saya ada (Cogito ergo sum).

Sedangkan mazhab Empirisme yang kemudian dikembangkan oleh David Hume (1611-1776), menyatakan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman. Ia menentang kelompok rasionalisme yang berlandaskan kepada prinsip “a pripori:” tetapi mereka menggunakan prinsip “a posteriori”.

Untuk menyelesaikan perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme, Iammnuel Kant mengajukan sintesis a pripori. Menurutnya, pengetahuan yang benar adalah yang sintesis a pripori, yakni pengetahuan yang bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a pripori dan a posteriori. Immanuel Kant adalah pembawa mazhab Kritisisme atau Rasionalisme Kritis atau lebih dikenal dengan Modernisme. Kemudian pada abad 19 muncul pula Aguste Comte (1798-1857) membawa aliran filsafat Posistivisme yang pada hakikatnya sebagai Empirisme Kritis. Sedangkan aliran filsafat abad 20 atau masa Kontemporer antara lain muncul aliran filsafat Eksistensialisme, Strukturalisme, dan Poststrukturalisme, Postmodernisme. Dalam hal ini penulis tidak perlu membahas seluruh aliran filsafat tersebut karena persoalannya akan melebar tidak fokus.

Dengan pergumulan dua induk aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme, maka pada ujungnya para pemikir Barat hanya mengakui dua macam ilmu yakni Empirical science dan Rational Science. Sedangkan di luar itu hanyalah beliefs atau kepercayaan, bukan ilmu.

Mazhab pemikiran filsafat yang masuk dan mendominasi para pemikir muslim adalah mazhab Rasionalisme, sehingga para pemikir muslim Rasionalisme sangat memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada akal. Konsekuensinya, mereka menolak semua hadits yang bertentangan dengan akal, sehingga apabila ada hadits bertentangan dengan kesimpulan akal, maka yang dipakai adalah kesimpulan akal. Bahkan ayat-ayat al-Qur’an pun -- apabila secara literal (tekstual) isinya bertentangan dengan akal -- akan ditafsirkan sesuai dengan penerimaan akal melalui penafsiran metaforis.
Para pemikir muslim Rasionalis yang terpengaruh oleh filsafat Barat secara diametral bertentangan dengan para pemikir muslim Tradisionalis yang bersikap sebaliknya, yakni mereka tetap menggunakan hadits Ahad walaupun bertentangan dengan akal bahkan mereka pun berpegang kepada makna hakiki dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an bukan dengan tafsir metaforis sebagaimana diketengahkan oleh para pemikir Rasionalis. Pemikir Tradisionalis banyak menghindari – kalau tidak dikatakan memusuhi -- filsafat Barat.
Amin Abdullah yang mengutip pendapat Muhammad ‘Abid al-Jabiry menyatakan bahwa para tokoh Ilmu Kalam banyak yang memusuhi filsafat akibatnya antara filsasat dan Ilmu Kalam tidak ada titik temu. Abid al-Jabiry menyatakan bahwa di lingkungan generasi pertama Ahl as-Sunnah atau juga dengan Asy‘ariyah di mana terdapat tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan asy-Syahrastani (479-549 H), -- sangatlah menentang filsafat dan para ahli filsafat. Bahkan selanjutnya karya al-Ghazali Taháfut al-Falásifah dan karya asy-Syahrastanâ Musá‘arah al-Falásifah merupakan buku “wajib” yang harus diikuti oleh para penulis ilmu Kalam.

Perbedaan pendekatan yang digunakan dalam filsafat dan ilmu kalam dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


PERBEDAAN PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN
DALAM FILSAFAT DAN ILMU KALAM

Filsafat Ilmu Kalam

•Lebih menekankan dimensi keberagaman yang paling dalam-esoteris dan transendental. •Seringkali menekankan dimensi lahiriyah eksoteris dan final konkret.

•Lebih menekankan ketenangan ke dalam jiwa karena mendapat kepuasan pemikiran. • Lebih menekankan keramaian (syi‘ar) yang bersifat ekspressif-keluar.

•Lebih menggarisbawahi comprhension (pemahaman akal). • Lebih menekankan transmission (pemindahan, pewarisan atau yang biasa disebut naql).
•Lebih bercorak prophetic philosophy • Lebih bercorak priestly religion (keulamaan).
•Lebih menekankan dimensi being religious.

•Lebih menekankan dimensi having a religion.
Walaupun pada periode Pertengahan, filsafat dijauhi, maka mulai abad 18 (Periode Modern) filsafat mulai didekati lagi bahkan dijadikan kerangka berfikir oleh sebahagian pemikir muslim.

Masalahnya sekarang adalah – demikian Amin ‘Abdullah -- bagaimana kita menyikapi filsafat dan ilmu Kalam lebih luas lagi doktrin agama, apakah mau bersifat Paralel, Linear atau Sirkular ?

Kalau menggunakan pendekatan paralel maka metode berfikir yang digunakan akan berjalan masing-masing, tidak ada titik temu sehingga manfaat yang dicapainya pun akan sangat minim. Kalau menggunakan pendekatan linear maka pada ujungnya akan terjadi kebuntuan. Pola linear akan mengasumsikan bahwa salah satu dari keduanya akan menjadi primadona. Seorang ilmuwan agama akan menepikan masukan dari metode filsafat, karena pendekatan yang ia gunakan dianggap sebagai suatu pendekatan yang ideal dan final. Kebuntuan yang dialami oleh pemikir yang menggunakan pendekatan naqli semata adalah kesimpulan yang bersifat dogmatis – teologis, biasanya berujung pada truth claim yang ekslusif yang mencerminkan pola fikir “right or wrong is my caountry” atau juga kebuntuan historis empirik dalam bentuk pandangan yang skeptis, relativistik, dan nihilistik. Atau dapat juga kebuntuan filosofis tergantung kepada jenis tradisi atau aliran filosofis yang disukainya.

Baik pendekatan paralel maupun linear bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance, karena pendekatan paralel akan terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri dan itulah yang disebut “truth claim”. Sedangkan pendekatan linear yang mengasumsikan adanya finalitas, akan menjebak seseorang atau kelompok ke dalam situasi ekslusif – polemis.

Mungkin yang terbaik adalah yang bersifat sirkular,dalam arti karena masing masing pendekatan memiliki keterbatasan dan kekurangan maka dilakukanlah pendekatan itu secara bersamaan (multi approach) yang di dalamnya saling menutupi kekurangan.
Dalam menyikapi perlu tidaknya pola berfikir filsafat dalam pembahasan teologi dan hukum Islam, para pemikir muslim terbelah dua, yakni Pemikir Tradisional dan Rasional. Pemikir Tradisional kemudian menjadi dua corak yakni Tradisional Literal (Tekstual) dan Tradisional Kontekstual. Pemikir Rasional terbagi dua juga, yakni Rasional Kontekstual dan Rasional – Liberal, sehingga para pemikir Islam dikelompokkan menjadi empat corak.

Pemikir Tradisional yang Tekstual (Literal) adalah kelompok pemikir Tradisional yang memahami Al-Qur’an dan terutama hadits sangat terikat dengan teks tanpa melihat konteks. Misalnya mereka makan dengan tiga jari sebagaimana hadits nabi, mereka tidak memakai handuk setelah mandi janabat karena nabi pun demikian, mereka memakai gamis dan sorban karena nabi pun berpakaian demikian, juga mereka memelihara jenggot karena nabi memerintahkan memelihara jenggot. Para pemikir yang berada di lingkungan Front Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad, Jama’ah Tagligh, Darul Arqam, merupakan contoh-contoh Pemikir Tradisional yang Literal.

Corak kedua adalah Tradisional yang Kontekstual, yaitu banyak mengacu kepada hasil Ijtihad Ulama Salaf serta banyak menggunakan hadits Ahad dengan pemahaman dan pendekatan rasio.

Corak ketiga adalah Pemikir Rasional-Kontekstual, ialah pemikir yang tidak terikat dengan hal-hal Dhanny, baik hadits Ahad maupun ayat Al-Qur’an yang Dhanny dalálah-nya. Mereka dengan leluasa menggunakan pendekatan rasio dan memegang prinsip kausalitas dan kontekstual dengan kaidah “al-hukm yaduru ma‘a al-‘illat” (Hukum bergantung kepada ‘illat).

Corak keempat adalah Pemikir Rasional yang Liberal, yaitu pemikir yang pemikirannya sangat bebas merambah hal-hal yang oleh Tradisional dinilai “haram” untuk dijadikan objek ijtihad. Contoh pemikir tipe Rasional – Liberal ini antara lain Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Nurcholis Madjid (ini paling tidak menurut Charles Kurzman dalam bukunya “Wacana Islam Liberal”.

Itu penilaian subjektif penuilis, namun sangat mungkin – sebagaimana dikatakan oleh Charles Kurzman, editor buku “Wacana Islam Liberal” bahwa yang bersangkutan mungkin setuju dan mungkin tidak, dikelompokkan demikian. Juga penting dicatat di sini sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi Azra, pemikiran seorang tokoh tertentu kadang-kadang sangat kompleks tidak bisa lagi dijelaskan dalam satu kerangka atau tipologi tertentu, terjadi tumpang tindih dan bahkan saling silang.

Rasionalitas dalam Beragama :

Dalam tataran realita, akal tidak selalu mampu mencari kebenaran karena akal, nalar, ratio adalah tergantung kepada biologis. Karena akal memiliki keterbatasan maka perlu bantuan wahyu. Dengan demikian, pada hakikatnya akal dengan wahyu tidak boleh bertentangan.

Dalam mempelajari Islam tidak bisa hanya menggunakan pendekatan emprik dan rasio biasa tetapi perlu ada keterlibatan iman. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat katagori ilmu yakni :

• Empirical Science, yakni ukuran benar tidaknya adalah dibuktikan secara empirik melalui eksperimen. Sumbernya adalah pancaindera, terutama mata. Mata itu bahasa Arabnya adalah ain, maka disebutlah ainul yaqin . Yang termasuk ke dalam empirical science antara lain kedokteran, fisika, kimia, bilogi, goelogi.
• Rational Science , ialah ilmu yang kebenarannya ditentukan oleh hubungan sebab – akibat. Kalau ada hubungan yang logis disebutlah rational. Sumbernya adalah ratio, maka disebutlah ilmul yaqin. termasuk ke dalam katagori ilmu ini antara lain bahasa, filsafat, matematika.
• Suprarational Science , ialah manakala kebenarannya ditentukan oleh hal-hal di luar ratio yang berkembang pada zaman itu. Sumbernya adalah hati (qalbu), maka disebutlah Haqqul Yaqin. Yang termasuk ke dalam ilmu ini antara lain Isra Mi'raj, doa, mukjizat.
• Metarational Science adalah Ilmu Ghaib, semacam siksa dan nikmat qubur, syurga neraka, dll. Sumbernya adalah Ruh.
Memahami al-Islam dengan hanya menggunakan katago Empirical science dan Rational Science akan mengalami kesulitan. Akibatnya ayat-ayat Al-Qur'an yang dianggap kurang rasional dipaksakan haraus rasional, maka terjadilah rasionalisasi al-Qur'an.

Pengamalan Al-Islam dengan pendekatan :

• Law Approach yakni pengamalan Islam sebatas haram – halal, yang penting sah, yang penting tidak haram.
• Love Aproach yakni lebih kepada target sempurna.

Beberapa istilah dalam studi Islam :

Terdapat beberapa termonologi yang peting difahami adalam memahami Islam yakni Islam Simbolik dan Islam Substantif, Islam Radikal, Islam Salafi, Islam Kontemporer, dan Sunni- Syi'ah.

Diolah dari : Hartono Ahmad Azis, Aliran dan Faham Sesat di Indonesia, ( Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2002 ) , hal. vii.

Ma]hab Empirisme kemudian berkembang ke arah Positivisme. Perkembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu sosial dianggap mencapai bentuknya secara definitif dengan kehadiran Aguste Comte (1798-1857) dengan grand - theory-nya yang digelar dalam kaya utamanya Courus de Philospphie Positive (1855). Comte menjelaskan bahwa tahap positive dicapai setelah manusia melampaui tahap theologik dan metafisik. Menurut madzhab Positivisme bahwa sesuatu benar dan nyata haruslah konkret, eksak, akurat dan memberi kemanfaatan. Dalam pandangan positivisme, Ilmu-ilmu kealaman memperoleh objektivitas yang khas semata-mata bersifat empiris – eksperimental. Filsafat Comte ini adalah anti-metafisis, ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif- ilmiah.

Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam: Pentingnya Filsafat Dalam Memecahkan Persoalan-persoalan keagamaan, Makalah, disajikan dalam acara Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, 22-29 Agustus 1999, hal.12.
Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam", hal.8

Amin Abdullah, Pemikiran Filsafat Islam, hal 18-19.
Charles Kurzman (Ed.), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakrta : Penerbit Paramadina, 2001), hal. xii-xiii.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post Modernisme, (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996), hal. xii.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hikmah : Teologi Ujian

Oleh: Achmad Sjamsudin*)

Dua firman Allah berikut, sungguh relevan bagi orang-orang yang diuji. Pertama, firman Allah di dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 155: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. "

Kedua, firman Allah yang terdapat di dalam QS An-Naml [27] ayat 40: "Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Di dua ayat itu, Allah SWT menanamkan pemahaman di alam bawah sadar manusia, bahwa istilah bala’ (ujian/cobaan) yang dipakai-Nya di dalam Alquran ternyata mempunyai dua sisi makna, yaitu musibah dan nikmat.

Sungguh, akidah atau teologi mengenai bala’ yang terdapat di dalam Alquran ini di luar dugaan kita sebelumnya yang mengaitkan bala’ pada musibah saja. Untuk bala’ yang berarti musibah, di ayat 155 surat Al-Baqarah itu, Allah menyatakan dengan tegas bahwa Dia akan memberikan cobaan kepada kita semua, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.

Sementara bala’ yang bermakna nikmat, Anda bisa melihatnya di dalam QS. An-Naml: 40. Ayat ini semacam penegasan dari ayat-ayat sebelumnya yang dimulai sejak ayat 15, di mana rangkaian firman Allah itu menceritakan kenikmatan-kenikmatan yang diberikan kepada Nabi Sulaiman, yaitu ilmu, bala tentara dari jin-manusia-burung, kemampuan mendengarkan bahasa semut, dan yang paling fantastik ialah tatkala Sulaiman melihat singgasana Ratu Balqis sekejap mata sudah terletak di hadapannya.

Nah, di ayat 40 itulah, Sulaiman menyadari melalui ungkapan tauhid rububiyahnya, bahwa semua kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata merupakan anugerah Rabb (Tuhan)-nya, sekaligus ’ujian’ (bala’) baginya: apakah dia bersyukur atau kufur. Coba, para pembaca, Anda perhatikan, ayat ini menyebut kenikmatan sebagai bala’ juga!

Apa yang kita dapatkan dari teologi bala’ (ujian) tersebut? Ya, para pembaca, kehidupan ini memang berisi dua hal itu, musibah dan nikmat. Tidak ada yang lain. Kalau tidak tertimpa musibah, seseorang itu dalam hidupnya menerima nikmat. Keduanya datang silih berganti seperti silih bergantinya malam dan siang (QS Ali Imran [3]: 190). Karena itu, manusia harus menyadari bahwa keduanya merupakan ujian.

Allah sendiri pun sejak awal telah menyadarkan kita akan dua macam bala’ (ujian) itu: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (QS Al-Anbiyaa’ [21]: 35).

Musibah disebut ujian, karena memang banyak manusia yang tidak sabar ketika musibah mulai menimpa dirinya. Ketidaksabaran itu karena saking tidak kuatnya menanggung musibah. Ada yang mengeluh dan ada pula yang sampai nekad bunuh diri.

Sementara itu, kenikmatan yang dirasakan oleh sebagian manusia juga bisa disebut ujian, alasannya sama dengan musibah tadi, yaitu semata-mata karena sikap manusia yang menerima kenikmatan itu. Jika dalam menghadapi musibah banyak orang yang tidak sabar, maka dalam menghadapi kenikmatan banyak orang yang tidak bisa bersyukur. Tandanya bisa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang serba cukup banyak yang jatuh dalam dosa atau kemaksiatan kepada Allah, Sang Pemberi nikmat (al-Mun’im) itu sendiri. Wallahu a’lam.

*) Achmad Sjamsudin, Manajer Divisi Dakwah Yatim Mandiri.kutipan dari majalah Republika.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pecinta Alam

Sabtu, 30 Oktober 2010 dengan Zenith SCA Kendari

Tahun 2011 ini, genap sudah organisasi pencinta alam di Indonesia berumur 51 tahun. Sejak kehadirannya pada dekade 60-an, organisasi pencinta alam di Indonesia makin meningkat dengan pesat. Baik itu perorangan maupun kelompok. Peminatnya terus bertambah, tidak hanya dari kota-kota besar tapi sudah tersebar keseluruh nusantara. Menurut catatan PIPA (Pusat Informasi Pencinta Alam, suatu wadah yang pernah didirikan oleh LIPI – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ada sekitar 1500 perhimpunan pencinta alam di Indonesia. Itu pada tahun 1995, entah sekarang, yang jelas data statistik itu pasti membengkak lagi.

Namun seiring dengan bertambahnya bentuk kegiatan, prestasi serta prestise meningkat, ternyata banyak sekali perhimpunan pencinta alam yang ada sekarang tidak mengetahui sejarah asal-usul pencinta alam itu sendiri. Kalau seseorang tidak mengetahui apa yang ia cintai, apakah mungkin akan tumbuh rasa cinta pada sesuatu tersebut? Hal ini mengakibatkan banyaknya perhimpunan pencinta alam yang hanya sekedar mengusung simbol-simbol serta kebanggaan dengan memasang berbagai atribut atau aksesoris agar nampak seperti pencinta alam, tetapi perilakunya tidak mencerminkan hal itu.

Padahal di awal kehadirannya, organisasi yang “lahir” di atas kemelut politik ini telah memiliki visi dan misi yang jelas, yang paling sederhana adalah dalam pembentukan character building. Di salah satu artikelnya yang berjudul Menaklukkan Gunung Slamet yang terangkum dalam buku Zaman Peralihan. Soe Hok Gie (Alm.) menulis seperti ini, “….Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya, dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar di samping itu untuk menimbulkan daya tahan fisik yang tinggi. “Libur ini kami ingin mendaki gunung yang berat.” Kami terangkan kepada mereka.

Berdasarkan tulisan di atas, almarhum memahami benar bahwa orang yang bergerak dalam kegiatan outdoor seperti ini umumnya memiliki kemampuan fisik, sikap serta intele-gensia yang baik. Dan itu jelas merupakan modal yang bagus untuk pembangunan. Namun yang terjadi sekarang justru kebalikannya. Banyak yang mengklaim dirinya pencinta alam tetapi dalam kegiatan sebenarnya justru malah merusak alam. Apakah ini bukan salah kaprah namanya ?

Asal-usul Pencinta Alam

Kelahiran pencinta alam di Indonesia memang tidak diketahui secara pasti tanggal dan bulannya. Namun yang jelas, cikal bakal kegiatan ini mulai hadir sekitar tahun 60-an. Konon, istilah pencinta alam itu sendiri pertama kali dikenalkan oleh (Alm) Soe Hok Gie, salah satu pendiri Mapala UI. Namun penulis sendiri yakin, bahwa almarhum tidak akan pernah menyangka bila istilah yang diperkenalkannya itu kelak akan masuk dalam kosa kata Bahasa Indonesia, karena awal kehadirannya pun “Cuma” sebuah rangkaian kecil dari sejarah politik Indonesia pada saat itu. Ketika Presiden Soekarno semakin terpengaruh oleh Partai Komunis Indonesia, atmosfir politik di Indonesia otomatis terpecah menjadi dua. Satu pihak yang berada di belakang Soekarno menyebut dirinya sebagai kelompok revolusioner, sementara pihak yang tidak sejalan dengan garis kebijaksanaan Soekarno dianggap kelompok kontra-revolusioner atau kelompok reaksioner. Ternyata, kondisi seperti itu merambah pula dalam dunia kampus. Mahasiswa ikut-ikutan terpecah menjadi dua, yaitu kelompok mahasiswa revolusioner dan kontra-revolusioner.

Di antara kelompok mahasiswa yang saling berseberangan itu, ada juga kelompok mahasiswa yang bersikap netral meskipun lokal sifatnya. Di Jakarta, ada kelompok mahasiswa yang menamakan dirinya Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA) serta Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD). Di Bandung sendiri organ­isasi mahasiwa yang bersikap netral adalah Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PM:) dan Corps Studioso­rum Bandungense (CBS).

Pertentangan antara dua kelompok mahasiswa itu kian hari kian menguat frekuensinya. Masing-masing berusaha untuk saling mempengaruhi dan saling menjegal satu sama lain. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, kemelut politik yang sebenarnya akar permasalahannya justru berada di luar kampus itu mulai “menyerang” ke dalam fakultas, tak terkecuali Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) harus terkena pula imbasnya. Sampai-sampai dalam pemilihan ketua senat pun, para kandidat yang muncul adalah mahasiswa-mahasiswa yang membawa bendera-bendera organisasi tertentu. Namun ternyata, tekanan dari kelompok revolusioner kian lama kian menguat, dan kelompok yang netral justru malah semakin terjepit diantara kekuatan-kekuatan tersebut.

Dalam kondisi terjepit seperti itu, kelompok netral yang berada di FSUI mencoba untuk “menggeliat” dengan melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan. Baik itu di lingkungan kampus maupun di luar. Kelompok yang semakin hari semakin banyak peminatnya itu mulai “melawan” dengan caranya sendiri. Seperti; menyelenggarakan diskusi, memutar film dan kegiatan lainnya. Sementara untuk kegiatan luarnya, mereka selalu memiliki agenda untuk menyelenggarakan perjalanan bersama ke gunung-gunung maupun ke dusun-dusun sepi. Rasa senasib sepenanggungan dalam perjalanan, terkucil dari “keramaian” politik serta rasa terpencil itulah yang membuat mereka bersama-sama untuk “berkeluh kesah” pada Sang Pencipta. Mereka adalah kelompok mahasiswa yang tidak rela almamaternya (FSUI) dijadikan ajang pertarungan politik guna kepentingan luar. Kemudian kelompok ini menamakan diri sebagai pencinta almamater. Selain dimotori oleh (Alm) Soe Hok Gie, juga ada Herman O. Lantang, Asminur Sofyan Udin, Edi Wuryantoro serta Maulana.

Dalam skala kecil, hikmah yang bisa diambil oleh mereka adalah mendapatkan kawan yang senasib-sepenanggungan sementara untuk lingkup yang luasnya, yaitu bahwa ternyata untuk mencintai dan mem­bangun negara tercinta tidak selalu harus dengan cara berpolitik. Masih ada cara lain selain saling “sikut-menyikut” guna kepentingan penguasa, mendaki gunung, misalnya.

Atas dasar pengalaman serta penderitaan itulah yang kelak kemudian menjadi cikal-bakal organisasi yang untuk pertama kalinya menggunakan istilah pencinta alam, yaitu Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Prajnaparamita FSUI. Prajnaparamita, sendiri adalah lambang jati diri dari FSUI yang berarti dewi kesenian dan ilmu pengetahuan dalam mitologi India, karena memang pada saat itu Mapala hanya milik FSUI. Baru pada tahun 1971, ketika Mapala resmi menjadi bagian dari Unit Kegiatan Mahasiswa di UI, maka para pendirinya dengan tulus melepaskan hak atas nama Prajnaparamita itu.

Pada perkembangan selanjutnya, ketika organisasi seperti itu mulai menjamur, para “elite” pencinta alam di tanah air mulai merasakan bahwa sudah tiba waktunya dibentuk suatu kode etik bagi pencinta alam. Setelah beberapa tahun dirumuskan, baru pada Gladian ke-IV lah kode etik bagi pencinta alam dikumandangkan di Ujungpandang.

Antara Lalu dan Kini : Hakekat Yang Telah Tergeser

Berdasarkan kisah di atas, jelaslah kiranya bahwa fenomena kelahiran pencinta alam di Indonesia pada mulanya hanya didasari oleh sikap “perlawanan” dan hasil “kontemplasi” dari sekelompok mahasiswa FSUI terhadap establishment (kemapanan) atau bisa jadi juga aktualisasi dari sikap escapisme (pelarian) dikarenakan rasa tidak berdaya, aliensi dan anomi. Dalam lingkup kegiatannya, idealisme memang diwujudkan di sini. Sampai sekarang pun, idealisme itu masih tetap terpelihara dengan tidak berdirinya organisasi pencinta alam baik itu yang berada di SMU, universitas maupun yang berdiri sendiri pada satu kekuatan atau warna politik tertentu. Karena sampai saat ini, belum pernah kita dengar ada organisasi pencinta alam yang demo kepada pemerintah menuntut “jatah” kursi di DPR.

Namun setelah empat puluh tahun berlalu, idealisme dari makna serta hakekat pencinta alam itu sendiri semakin luntur. Kode etik yang diikrarkan pada tahun 1974 kini hanya menjadi slogan belaka atau sekedar lips service saja, karena itu baru akan dikumandangkan pada saat kode etik itu memang perlu dibacakan. Misal; tiap diselenggarakannya Diklatsar. Tapi ironisnya, hal itu tidak masuk pada perilaku kehidupannya sehari-hari.

Kalau sudah begini, maka urusan pelestarian alam yang jelas-jelas tertuang pada kode etik tersebut hanya menjadi omong kosong belaka. “Penyakit” seperti itu kian waktu semakin merasuk di kalangan para pencinta alam. Akibatnya adalah semakin banyaknya para pencinta alam yang tidak menyadari keberadaan dirinya. Padahal seharusnya mereka memiliki point yang lebih daripada orang-orang yang tidak pernah/belum memasuki organisasi pencinta alam, khususnya soal kesadaran dan kepedulian lingkungan hidup. Bukankan inti dari kode etik itu adalah soal kesadaran akan alam dan upaya manusia untuk mencintai alam? Yang berarti pula mencoba untuk mencintai Sang Pencipta lewat kegiatannya tersebut.

Sebagai bagian dari suatu masyarakat yang lebih besar, sudah saatnya kalangan pencinta alam tidak menutup diri dari perkembangan yang terjadi di luar dirinya. Dari tahun ke tahun, organisasi semacam ini dituntut untuk terus berpartisipasi aktif guna mengisi pembangunan di tanah air. Karena memasuki abad 21 ini, pilihan yang berada di depan hidung para pencinta lam sudah semakin banyak dan kompleks sementara makna serta hakekat dari pencinta alam itu sendiri sebagai pelestari alam telah semakin kabur jauh, entah kemana.

Sepertinya, sudah tiba saatnya organisasi para pencinta alam “bersatu” kembali guna mengembangkan ide serta bentuk kegiatan yang bermanfaat dalam bentuk yang konkrit. Hal ini bukan saja buat dirinya tetapi juga buat masyarakat, tempat dimana golongan ini hidup dan berkembang . Terutama sekali buat “Ibunda” kita sendiri, yaitu alam terbuka, tempat dimana kita bermain dan berkegiatan.

(Dari berbagai sumber. Penulis adalah anggota Perhimpunan Kreatifitas Alam dan Lingkungan, RAIMUNA, STIKOM-Bandung)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

DIMENSI RUHANI MANUSIA

Oleh: Hasani Ahmad Said

Tulisan ini pernah dimuat di Opini Koran Kabar Banten,Sabtu,9 Okt 2010

Manusia secara fisik tak ubahnya seperti belalang kecil yang hinggap di pohon-pohon. Tetapi dalam diri yang kecil itu terdapat arsy Tuhan, yang luasnya lebih luas dari bumi dan langit, demikian ungkapan Jalaludin Rumi.

Manusia pada hakikatnya terdiri atas dua dimensi. Dimensi jasmani dan ruhani. Dua dimensi itu selayaknya harus tersentuh proses pembelajaran dalam hidup manusia. Dimensi ruhani ada dan terdapat dalam qalbu, ruh, nafs, dan aqal yang pada gilirannya membawa ketentraman baik jiwa manusia di tengah kegelisahan kehidupan dunia modern sekarang, atau malah sebaliknya.

Baiklah coba satu persatu diuraikan dalam tulisan ini untuk menemukan eksistensi manusia,sesungguhnya sebagai manusia yang diposiskan sesempurnanya ciptaan.

Pertama Qalb yang bermakna membalik, kembali, maju-mundur, naik turun, berubah-ubah. Kata ini digunakan untuk menamai bagian dalam dari manusia yang menjadi sentral diri manusia itu sendiri, yang kita terjemahkan dengan hati.

Qalb yang suci bagaikan bola lampu kristal yang jernih dan tampak titik apinya, tempat bertemunya minyak dan api, dari luarnya diterangi oleh cahaya iman sedangkan di dalamnya diterangi cahaya ruh suci; sehingga terberkatilah dua rumah: rumah jiwa dan rumah jasad oleh cahaya-cahaya tersebut

Al-Ghazali (w. 505 H.), dari kalangan sufi, mencoba menjelaskan pengertian qalb dengan terlebih dahulu membuat kategori yakni qalb dalam pengertian fisik, yaitu segumpal daging sebagian organ tubuh yang terletak pada bagian kiri ronga dada, dan merupakan sentral peredaran darah; di mana darah itu yang membawa kepada kehidupan. Al-Ghazali mengatakan, hati dalam kategori ini adalah hati biologis yang menjadi obyek kajian para ahli kesehatan.

Kedua adalah Ruh, kata Ruh berasal dari akar kata r w h. Dalam hal ini, makna resmi kata tersebut yang berarti nyawa yang menggerakkan makhluk hidup, dapat dipahami secara intuitif sebagai udara yang menggerakkan jasad manusia. Karena udara tidak dapat dilihat, maka demikian pula ruh, yang hanya dapat dirasakan keberadaannya yang seperti angin itu.

Ruh mengantar pada ilahi, jasad membawa pada keduniawian. Ruhani adalah yang mengendalikan, memberikan visi dan nilai-nilai bimbingan kepada jiwa-jiwa nabati, hewani dan insani. Ruh kita sesungguhnya perwujudan arsy Tuhan. Jangkauannya lebih luas dari bumi.

Jadi, kalau kita mencintai dunia berarti kita memenjarakan ruh kita di sangkar yang kecil. Mana mungkin burung elang itu bisa bahagia di dalam sangkar yang kecil. Bebaskan ruh kita dari sangkar dunia.

Dalam kalangan Sufi, ruh tidak mereka definisikan, tetapi mereka melihatnya dari sisi bahwa Ruh adalah alat bagi manusia dalam berhubungan dengan Tuhan. Ruh iru erat hubungannya dengan jantung, di mana ia beredar bersama peredaran darah, sehingga kalau detak jantung sudah berhenti, maka berakhir pulalah ruh itu.
Akan tetapi, ruh yang menjadi sasaran tasawuf adalah ruh lathifah al-‘Alimah al-mudrikah min al-insan (sesuatu yang halus, yang mengetahui dan mempersepsi, yang terdapat dalam diri manusia), atau sama pengertiannya hati dalam kategori kedua di atas.

Ketiga, Nafs, istilah Nafs dalam Al-Qur’an yang jama’nya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), di samping juga dipakai untuk beberapa arti lainnya.

Mengungkap tentang Al-Nafs tidak dapat dipisahkan dengan ruh; sejatinya keduanya harus didudukkan sapu paket. Ruh itu dari Allah (Qul al-ruhu min amri Rabbi), sedangkan Allah itu maha suci dan immateri. Maka ruh itupun bersifat immateri dan suci.

Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa nafs atau nafsu, emosi, memiliki kecenderungan terhadap kejelekan. Namun demikian, emosi yang ada pada manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga mendorong manusia mencapai puncak keilmuan yang sangat tinggi.

Nafsu menempati bagian jantung manusia, sedang akal menempati otak manusia.
Al-Qur’an juga menyebut “Fakasauna al-idzama lahma” lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging (Q.S. Al Mu’minun [23]:14). Tatkala usia kandungan sembilan puluh hari proses pembentukan tubuh mulai berlangsung.

Maka nafs (jiwa), sebaiknya dipahami sebagai totalitas daya-daya ruhani berikut interaksinya dan aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Quraish Shihab cenderung memahami Nafs sebagai sesuatu yang merupakan hasil perpaduan jasmani dan ruhani manusia. Perpaduan yang kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan serta dikenal dan dibedakan dengan manusia-manusia lainnya.
Keempat, ‘Aql yang berarti ikatan, batasan, atau menahan.

Al-Ghazali meng-kategorikan akal atas dua pengertian. Pertama Akal dikaitkan dengan pengetahuan tentang suatu realitas, kedua Akal diartikan sama dengan kalbu. Jadi hati tak berbeda dengan akal. Meski demikian, kaum sufi menempatkan akal identik dengan dzawk (perasaan batin). Oleh karena itu, mereka berkeyakinan bahwa akal yang mampu mempersepsi sesuatu, sehingga menjadi sebuah konsep.

Dari uraian di atas, bisa dikatakan bahwa manusia tidak terlepas dari empat dimensi di atas. Kemudian, hati, ruh, nafsu, dan akal akan membawa kepada manusia yang sesungguhnya. Dalam artian bahwa dengan empat dimensi itu, manusia akan menjadi posisi/kedudukan yang terhormat, juga sebaliknya, bisa juga dalam posisi tersungkur atau hina.

Alquran menggambarkan mengenai penciptaan manusia sebaik-baik ciptaan (fî ahsani taqwîm). Akan tetapi posisi yang Allah berikan dalam posisi terbaik itu, bisa juga berbalik 180 derajat karena ulah manusia, yang kemudian digambarkan oleh Alquran sebagai sehina-hinanya manusia. Bahkan, manusia akan terlempar ke dasar kerak neraka.
Tepatlah kiranya, dua potensi yang Allah gambarkan dalam Q.S. al-Syams yakni Allah mengilhamkan kejelekan dan ketakwaan. Pertanyaannya tinggal pilih yang mana? Maka, dalam hal ini keempat dimensi di atas yang akan membawa manusia kelembah ke-takwaan atau kejelekan.


* Penulis adalah Dosen tetap Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan, Lampung & Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini tinggal di Pabean, Purwakarta, Cilegon, Banten.
Diposkan oleh DR. Hasani Ahmad Said, M.A. di 10.34

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sikaya Yang Bodoh

Ini cerita tentang berlian,tp bkn cerita brlian belina y

hurf...
Sikaya mnghela nafasnya dlm2,n mnarik air liurnya dlm2

"huh,siang ini panas jg nih cuaca,serasa diarab"
lantas si kaya ini pun langsung brgegas plng ,tp baru bberapa langkah ia brjalan ia seperti mlihat benda yg sdikit brkilau dsudut kubangan lumpur yg ada dsudut pohon yg ada di taman itu,lantas ia pun penasaran n langsung mngambil benda itu dengan gaya jijik mengangkat benda itu,lantas ia pun berfikir,"kok kilau benda ini sperti berlian ya,ah ane cuci ah,siape tau aj ni berlian bisa bersih n memancarkan sinarnya", tapi setelah ia mencoba berulang kali membersihkan berlian ini tetap saja tidak bersih,masih ada kerak kotoran tanah diberlian ini,yg pada akhirnya ia pun hilang kesabaran dan lantas mmbuang brlian itu keluar rumahnya

Tapi tiba-tiba datang sipemulung sholeh lewat didepan rumah si kaya,dan melihat benda berkilau itu,lantas ia pun bertanya kepada si kaya "maaf tuan,apakah tuan sudah tidak membutuhkan benda ini lagi ?,apakah boleh benda ini untuk saya,"ya silahkan ambil saja,saya sudah lelah membersihkn benda itu tapi tetap saja ngak bersih-bersih"

Akhirnya si pemulung ini membawa pulang berlian ini dengan perasaan gembira
akhirnya ia pun membersihkan berlian ini dengan sabarnya dan dengan cara yg unik

jeng...jeng...jeng
dan pada akhirnya kesokan harinya ia mendapati berlian itu dalam keadaan berkilau

wah benda ini seperti perhiasan yak,ah besok coba jual kepasar,siapa tau duitnye bisa buat makan besok

Dan ketika itu lantas ia pun menjual perhiasan,yang pada akhirnya dihargai dengan harga yang fantastis,semenjak itu si pemulung ini menjadi seorang milyader kaya.

Inilah gambaran diri kita,kita yg merasa bersih sering kali menjauhi diri dari orang-orang yang mungkin selalu melakukan maksiat,ketika ingin membersihkannya,tapi tak tau bagaimana cara membersihkannya,dan juga kita sering kali membuang sesuatu yang padahal berharga,yg pd akhirnya hanya orang-orang yg bersabarlah yg mendapatkan keuntungannya,dan sikaya ini adalah gambaran orang yang berilmu yang tak bijaksana dan sebenarnya kurang cerdas

^_^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Wanita Pendaki Bersaing ke Puncak Himalaya


20 April 2010 oleh jedadulu .com


Hanya satu puncak gunung lagi yang harus didaki oleh Edurne Pasaban. (foto: bbc.co.uk)

MADRID–Entah ada hubungannya dengan Hari Kartini di Indonesia atau tidak, Rabu (21/4), dua pendaki gunung wanita paling terkenal di dunia sedang berlomba untuk menjadi wanita pertama yang berhasil menaklukkan 14 gunung tertinggi dunia. Tim kedua pendaki gunung ini sedang bersiap-siap mendaki puncak gunung yang terakhir.
Keduanya punya peluang untuk mencatat rekor. Hanya satu pendakian lagi yang harus dilakukan oleh pendaki asal Spanyol, Edurne Pasaban, setelah mulai mendaki puncak gunung Himalaya hari Sabtu (17/4). Namun pesaing utamanya dari Korea Selatan, Oh Eun-sun, juga sudah berada di lereng gunung ke-14 yang harus didaki.

Seperti dilansir bbc.co.uk, Selasa (20/4), kompetisi antara keduanya semakin memanas pada pekan-pekan terakhir untuk mendaki gunung tinggi dunia, dengan puncak 8.000 meter dari permukaan laut.

Hari Sabtu, Pasaban mendaki Annapurna, salah satu puncak gunung Himalaya yang paling berbahaya, dan tinggal satu puncak gunung lagi yang harus didakinya untuk menjadi wanita pertama yang berhasil mendaki keempat belas gunung dengan ketinggian di atas 8000 meter itu.

Pendaki asal Basque, Spanyol utara, yang berusia 36 tahun ini berhasil mencapai puncak gunung setinggi 8.091 meter itu bersama beberapa orang pendaki gunung asal Spanyol lainnya, kata jurubicara kepada kantor berita AFP.

Hanya puncak gunung Shisha Pangma di Tibet dengan ketinggian 8.027 yang masih harus ditaklukkan untuk mecatat rekor dalam sejarah pendakian gunung oleh pendaki perempuan.

Oh Eun-sun sekarang sedang berada di lereng Annapurna, yang akan menjadi puncak ke-14 dan yang terakhir baginya. Tetapi puncak gunung dengan ketinggian 8.091 meter itu sangat berbahaya karena secara teknis sulit didaki dan sering mengalami salju longsor.

Gunung itu mencatat angka kematian yang lebih tinggi daripada Everest, yang merupakan puncak gunung tertinggi di dunia. Pendaki Korea Selatan berusia 44 tahun itu sedang menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar di Base Camp 2 dan berharap bisa mencoba mendaki puncak Annapurna.

Eun-sun sekarang tampaknya berada pada posisi yang lebih menguntungkan, kendati gunung yang terdapat di Nepal itu lebih sulit didaki. Annapurna sudah menyebabkan 130 orang tewas, dan tahun lalu pendaki Korea Selatan ini terpaksa membatalkan niatnya dalam kabut dan badai salju.

Sementara, Pasaban juga sangat mengetahui liku-liku Annapura dan pernah pernah harus membatalkan pendakiannya tahun 2007 pada ketinggian 1.000 meter dari puncak gunung itu.

Jika Pasaban ingin mengukir namanya dalam buku catatan pemegang rekor, ia harus bisa cepat-cepat turun dari puncak Annapurna lalu menyeberang perbatasan ke Tibet untuk mulai menaklukkan Shisha Pangma, awal bulan depan.

Jurubicara Pasaban mengatakan, pendaki gunung Spanyol itu akan menuju Tibet untuk mencoba mendaki gunung itu dalam beberapa hari mendatang. Pelomba ketiga, Gerlinde Kaltenbrunner dari Austria, akan mulai mendaki gunung Everest, pekan depan.

Namun Pasaban masih harus mendaki K2–yang merupakan puncak tertinggi kedua di dunia yang dianggap sebagai paling sulit dan berbahaya dari 14 puncak gunung dengan ketinggian 8.000 meter ke atas–yang seluruhnya terdapat di Himalaya dan Karakoram di Asia.

Pendaki Italia, Reinhold Messner, merupakan orang pertama yang berhasil mendaki keempat belas puncak gunung itu pada tahun 1986.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ISLAM PADA MASA KERAJAAN DI INDONESIA


PENDAHULUAN


Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para Da’i yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) da’wah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.

Sejak awal Islam tidak pernah membeda-bedakan fungsi seseorang untuk berperan sebagai da’i (juru da’wah). Kewajiban berda’wah dalam Islam bukan hanya kasta (golongan) tertentu saja tetapi bagi setiap masyarakat dalam Islam. Sedangkan diagama lain hanya golongan tertentu yang mempunyai otoritas menyebarkan agama yaitu pendeta. Sesuai ungkapan Imam Syahid Hasan Albana “ Nahnu duat qabla kulla sai “ artinya kami adalah da’I sebelum profesi-profesi lainnya.

Sampainya da’wah di Indonesia melalui para pelaut-pelaut atau pedagang-pedagang sambil membawa dagangannya juga membawa akhlak Islami sekaligus memperkenalkan nilai-nilai yang Islami. Masyarakat ketika berbenalan dengan Islam terbuka pikirannya, dimulyakan sebagai manusia dan ini yang membedakan masuknya agama lain sesudah maupun sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh masuknya agama Kristen ke Indonesia ini berbarengan dengan Gold (emas atau kekayaan) dan glory (kejayaan atau kekuasaan) selain Gospel yang merupakan motif penyebaran agama berbarengan dengan penjajahan dan kekuasaan. Sedangkan Islam dengan cara yang damai. Begitulah Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang berada di daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh sampai Ternata dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian Timur yang wilayahnya sampai ke Irian jaya.


ISLAM PADA MASA KERAJAAN DI INDONESIA


2.1 Telisik awal mula islam datang ke Indonesia

Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.

Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.

Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-o-rang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.

Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.

Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.
Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.

Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut.

Pada awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat pada kemunduran kerajaan. Kemunduran Sriwijaya ini pula yang berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan ekonomi ini pula yang membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus perdagangan yang telah berperan dalam penyebaran Islam.

Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.

Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah. Namun ada pendapat lain dari Prof. Ali Hasjmy dalam makalahnya pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang digelar pada tahun 1978. Menurut Ali Hasjmy, kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak.

ISLAM PADA MASA KERAJAAN DI IDONESIA


2.2.1 Islam Pada Masa Kerajaan Perlak
Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.

Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.
Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa. Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan.

Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:

• Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)

• Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)

Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.

Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:

1. Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).

2. Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.

2.2.2.Islam Pada Masa Kerajaan Samudra Pasai


Kerajaan Samudra Pasai tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan Islam yang pertama. Mengenai awal dan tahun berdirinya kerajaan ini tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi menurut pendapat Prof. A. Hasymy, berdasarkan naskah tua yang berjudul Izhharul Haq yang ditulis oleh Al-Tashi dikatakan bahwa sebelum Samudra Pasai berkembang, sudah ada pusat pemerintahan Islam di Peureula (Perlak) pada pertengahan abad ke-9. Perlak berkembang sebagai pusat perdagangan, tetapi setelah keamanannya tidak stabil maka banyak pedagang yang mengalihkan kegiatannya ke tempat lain yakni ke Pasai, akhirnya Perlak mengalami kemunduran.

Dengan kemunduran Perlak, maka tampillah seorang penguasa lokal yang bernama Marah Silu dari Samudra yang berhasil mempersatukan daerah Samudra dan Pasai. Dan kedua daerah tersebut dijadikan sebuah kerajaan dengan nama Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai terletak di Kabupaten Lhokseumauwe, Aceh Utara, yang berbatasan dengan Selat Malaka. Untuk mengetahui letak Samudra Pasai.

Berdasarkan lokasi kerajaan Samudra Pasai tersebut, maka dapatlah dikatakan posisi Samudra Pasai sangat strategis karena terletak di jalur perdagangan Internasional, yang melewati Selat Malaka.

Dengan posisi yang strategis tersebut, Samudra Pasai berkembang menjadi kerajaan Islam yang cukup kuat, dan di pihak lain Samudra Pasai berkembang sebagai bandar transito yang menghubungkan para pedagang Islam yang datang dari arah barat dan para pedagang Islam yang datang dari arah timur. Keadaan ini mengakibatkan Samudra Pasai mengalami perkembangan yang cukup pesat pada masa itu baik dalam bidang, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 – 1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan.

Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348). Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batulah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan patihnya bergelar Amir.
Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas.

Menurut sejarah Melayu, kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam. Dengan demikian karena tidak adanya data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya Samudra. Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian Samudra Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka.

2.2.3 Islam Pada Masa Kerajaan Demak


Letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun untuk pertanian. Pada zaman dahulu Distrik Demak terletak di pantai selat yang memisahkan Pegunungan Muria dari Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik, sehingga kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas itu untuk berlayar ke Rembang.. Tetapi sudah sejak abad ke-17 jalan pintas itu tidak lagi dapat dilayari setiap saat.

Pada abad ke-16 agaknya Demak telah menjadi tempat penimbunan perdagangan padi, yang berasal dari daerah-daerah pertanian di sebelah-menyebelah selat tersebut, dengan perairannya yang tenang, untuk pelayaran. Konon, Kota Juwana, di sebelah Timur, sekitar tahun 1500 merupakan pusat seperti itu bagi daerah tersebut. Tetapi menurut Tome Pires sekitar tahun 1513 Juwana telah dihancurkan dan dikosongkan oleh Gusti Patih, panglima besar Kerajaan Majapahit yang bukan Islam. Ini tentu merupakah suatu pengerahan tenaga terakhir kerajaan yang sudah tua itu. Setelah jatuhnya Juwana, Demak menjadi penguasa mutlak selat di sebelah selatan Pegunungan Muria.

Menurut cerita tradisi Mataram Jawa Timur, raja Demak yang pertama – Raden Patah – adalah putra raja Majapahit yang terakhir (dari zaman sebelum Islam), yang dalam lagenda-lagenda bernama Brawijaya. Ibu Raden Patah konon seorang putri Cina dari keraton raja Majapahit. Waktu hamil putri itu dihadiahkan kepada seorang anak emasnya yang menjadi gubernur di Palembang. Di situlah Radeh Patah lahir.
Dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari Jaws Timur dan Jawa Tengah, raja Demak kedua sebagai pengganti Raden Patah yang legendaris itu disebut Pangeran Sabrang-Lor. Nama itu ternyata berasal dari daerah tempat tinggalnya di “Seberang Utara”. Tidak ada yang luar biasa disebut dalam cerita babad tentangnya
Menurut cerita Jawa Timur dan Mataram dalam buku-buku cerita Serat Kandha dan cerita babad, penguasa Demak yang ketiga bernama Tranggana atau Trenggana. la adalah saudara sultan sebelum dia, Pangeran Sabrang-Lor; kedua-duanya putra penguasa pertama, Raden Patah yang terkenal itu. Menurut cerita yang beredar di kalangan pengagum orang-orang suci,Tranggana telah mengundang Sunan Kalijaga dari Cirebon untuk menetap di Kadilangu dekat Demak. (Pada abad ke-17 Sunan Kalijaga dianggap sebagai rasul Islam dan pelindung Jawa Tengah sebelah selatan).

Dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari Jawa Tengah, Tranggana dan ayahnya (Raden Patah) diberi nama sesuai dengan nama tempat yang mungkin terletak dekat Demak, yaitu Jimbun. Dalam cerita-cerita ini terdapat seorang panembahan Jimbun, bahkan seorang Sultan Bintara Jimbun dan Jimbun Sabrang.

Bagian yang tertua dari Masjid Demak yang amat suci itu, yaitu pengimaman, mungkin sudah dibangun pada perempat terakhir abad ke-15. Jelaslah bahwa masjid tersebut telah meraih nama harum di Jawa Tengah sebagai masjid agung dari kerajaan Islam yang pertama di negeri ini. Oleh sebab itu, penting mengumpulkan keterangan yang menyangkut hubungan raja-raja Demak dengan agama Islam dan golongan santri.
Jemaah beserta masjid yang mereka bangun sendiri merupakan permulaan pengislaman Pulau Jawa. Jemaah ini diketahui oleh para imam, yang semula mendapatkan kekuasaan dengan jalan memimpin salat wajib lima waktu. Kekuasaan rohani para imam masjid ini sudah sejak zaman awal penyebaran agama Islam meluas meliputi bidang kehidupan masyarakat: pada asasnya, agama Islam meluas meliputi bidang kehidupan masyarakat: pada asasnya, agama Islam tidak mengakui adanya perbedaan antara hal rohani dan hal duniawi. Suatu hal yang berarti, di Jawa para imam masjid hampir selalu disebut “penghulu”. Kata “penghulu” di tanah Melayu berarti “kepala” pada umumnya, tanpa arti khusus di bidang rohani.

Dalam Hikayat Hasanuddin, sejarah singkat tentang raja-raja Banten, terdapat suatu bagian yang seluruhnya mengisahkan kelima imam Masjid Demak. Pemberitaan mereka dalam kronik Banten ini dapat dihubungkan dengan kenyataan bahwa penyusunnya ternyata menaruh minat terhadap soal-soal kerohanian. Mungkin ia sendiri termasuk kelompok santri. Dapatlah dimengerti jika baik Tome Pires, orang Portugis itu, maupun penulis-penulis Belanda pada waktu-waktu kemudian, sedikit pun tidak membuat catatan mengenai imam-imam masjid. Jadi, berita-berita Jawa tidak dapat dibandingkan dengan berita-berita Barat. Kemungkinan pemberitaan-pemberitaan tentang kelima imam Demak itu dapat dipercaya pada pokoknya berdasarkan sifatnya sebagai kronik keluarga. Mungkin yang menjadi dasar pemberitaan-pemberitaan tersebut ialah suatu silsilah tua yang autentik. Maka dari itu, ada baiknya membicarakan berita-berita tentang imam-imam Demak dalam uraian berikut ini sehubungan dengan sejarah dinasti Demak.

Imam pertama di Masjid Demak konon ialah Pangeran Bonang, putra Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta (Surabaya). Ia telah dipanggil oleh “Pangeran Ratu” di Demak itu untuk memangku jabatan itu. Selang berapa lama ia telah meletakkan jabatan itu untuk pergi, mula-mula ke Karang Kemuning, kemudian ke Bonang, dan akhirnya ke Tuban; di tempat itu ia meninggal. Buku Sadjarah Dalem, suatu silsilah raja-raja Mataram-Surakarta, menyusun urutan tempat kediaman tersebut secara lain: Surabaya, Karang Kemuning, Tuban, Ngampel Denta, Demak. la juga diberi nama Pangeran Makdum Ibrahim dan Sunan Wadat Anyakra Wati; menurut cerita ia hidup membujang atau setidak-tidaknya tidak meninggalkan anak.

Menurut Hikayat Hasanuddin, keempat imam Masjid Demak yang, berikut ini semuanya masih berkerabat dengan putri Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta, yang diberi nama Nyai Gede Pancuran, sesuai dengan nama tempat tinggalnya yang kemudian. Ia konon kawin dengan Pangeran Karang Kemuning, seorang alim ulama dari “Atas Angin” dari Barat, mungkin orang Melayu atau orang yang berasal dari India atau Arab, yang bernama Ibrahlm. Karang Kemuning itu tempat kedudukan Aria Timur, raja Jepara. “Pangeran Atas Angin” ini konon anak Pangeran Bonang. Pada akhir hidupnya ia pergi ke Surabaya, tempat ia wafat dan dimakamkan di samping ayah mertuanya, Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta. Janda dan keluarganya pergi ke Tuban, tempat tinggal saudaranya, Pangeran Bonang. la menetap di Pancuran. Sejak itu ia diberi nama sesuai dengan tempat tersebut. Menurut cerita, ia mempunyai mukjizat. Adipati Tuban pun sangat menghormatinya. Pada akhir hidupnya janda itu kembali ke Surabaya, dan dimakamkan dekat ayah dan suaminya.

Menurut Hikayat Hasanuddin, imam kedua Masjid Demak ialah suami cucu Nyai Gede Pancuran. la diberi nama Makdum Sampang. Ayahnya berasal dari Majapahit. Makdum Sampang selama beberapa waktu tinggal di rumah ipar perempuannya, Nyai Pembarep, juga cucu Nyai Gede Pancuran, dan janda Kalipah Husain, yang juga seorang alim ulama dari “Sabrang”. Konon, mereka bertempat tinggal di Undung (dekat Kudus sekarang). Dari situ Makdum Sampang pindah berturut-turut ke Surabaya, ke Tuban, dan ke Demak. Di tempat-tempat itu ia selalu memangku jabatan imam. Kepergiannya dari Tuban itu disebabkan ia merasa sangat keberatan untuk bekerja di bawah kekuasaan seorang adipati yang masih bersikap sebagai abdi maharaja Majapahit yang “kafir” itu. Itulah sebabnya ia memenuhi panggilan “Pangeran Ratu” Demak, untuk menjadi imam di masjid setempat. Setelah wafat dalam usia lanjut, konon ia dimakamkan di sebelah barat masjid yang termasyhur itu.

Makdum Sampang sebagai imam diganti oleh anaknya, yang dalam Hikayat Hasanuddin disebut Kiai Gedeng Pambayun ing Langgar. Tidak lama kemudian ia bersama ibunya pindah ke Jepara, untuk menjadi imam di sana. Mereka berdua, dan sesudah mereka juga beberapa sanak saudara lainnya, dimakamkan di sana, di gunung keramat Danareja.
Imam keempat Masjid Demak, menurut Hikayat Hasanuddin, konon seorang saudara sepupu dari pihak ibu imam pendahulunya. Jelasnya: ia anak Nyai Pambarep, yaitu ipar perempuan Makdum Sampang. la mendapat gelar Penghulu Rahmatullah dari Undung. la dipanggil oleh adipati Sabrang Lor untuk memangku jabatan itu dan ia gugur “dalam pertempuran”. la dimakamkan dekat Masjid Demak, di samping pamannya Makdum Sampang.
Orang kelima pada daftar imam Masjid Demak yang disebut dalam Hikayat Hasanuddin ialah orang yang mendapat julukan Pangeran Kudus, sesuai dengan tempat tinggalnya kemudian. la juga terkenal dengan panggilan Pandita Rabani. Konon, ia putra Pengulu Rahmatullah. Menurut hikayat ini, kiranya ia telah dipanggil oleh Syekh Nurullah (yang kemudian akan menjadi Sunan Gunungjati dari Cirebon) untuk memangku jabatan imam. Buku Sadjarah Dalem silsilah keturunan antara Sunan Ngampel dan Sunan Kudus. Seharusnya ada lima keturunan, seperti yang disebutkan oleh Hikayat ini. Sunan Kudus dianggap sebagai salah seorang moyang raja-raja Mataram (menurut garis ibu).
Daftar lima imam Masjid Demak yang menurut Hikayat Hasanuddin telah memangku jabatan selama pemerintahan tiga (atau empat) raja pertama kerajaan itu (bandingkan Bab II-6, akhir) adalah sebagai berikut.

1. Pangeran Bonang : sesudah tahun 1490 sampai tahun 1506/12 (?), dipanggil oleh “ratu” Demak.

2. Makdum Sampang: tahun 1506/12 sampai kira-kira tahun 1515 (?), dipanggil oleh “ratu” Demak.

3. Kiai Pambayun : ca. tahun 1515 sampai sebelum tahun 1521(?), pindah ke Japara.

4. Pengulu Rahmatullah : tahun 1524 (?) – ditetapkan oleh Syekh Nurullah, yang kemudian menjadi Sunan Gunungjati.

Berdasarkan keterangan yang dikutip dari Hikayat Hasanuddin ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan imam-imam yang pertama itu amat tergantung pada raja-raja Demak, pelindung mereka. Kemudian (mungkin waktu kekuasaan duniawi mereka atas jemaah di sekitar Masjid makin bertambah besar) mereka bersikap agak lebih bebas dan mempunyai hubungan dengan pemimpin-pemimpin rohani kota-kota lain. Yang disebut paling akhir pada daftar kelima imam itu, menurut cerita tradisi Jawa, memegang peranan penting dalam merebut kota raja Majapahit yang masih “kafir” itu.

2.2.4 Islam Pada Masa Kerajaan Ternate

Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh kepulauan Marshall di pasifik.

Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing – masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktifitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.

Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole di masa lalu, masing – masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya lihat Struktur organisasi kesultanan Ternate.
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.

Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan Sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai “Sultan Bualawa” (Sultan Cengkih).

3.2.5 Kerajaan Mataram


Raja merdeka pertama di Mataram mangkat pada tahun 1601. Tahun kejadian itu sudah pasti, karena pada tahun itu terjadi gerhana matahari yang dicatat pada kronik-kronik Jawa di samping peristiwa kematian itu. la meninggal di Kajenar (di daerah Sragen). Oleh sebab itu, dalam sejarah Jawa ia disebut juga Seda-ing-Kajenar. Ia dimakamkan di bawah kaki ayahnya, Ki Pamanahan, di tempat permakaman tua dekat kota istana Kotagede, yang telah mereka bangun dan perluas.

Tidak ada berita-berita dari orang-orang luar – bangsa Portugis atau Belanda – yang kiranya dapat memberi gambaran tentang peletak dasar kekuasaan dinasti Mataram ini. Tanpa menyebutkan nama, suatu berita Belanda hanya mengabarkan adanya seorang raja di Mataram (lihat bagian sebelum ini). Karena itu, hanya hasil kerjanyalah yang dapat memberi kesaksian tentangnya. Ternyata, usahanya telah berhasil: kira-kira dalam waktu 15 tahun kekuasaan Mataram telah diakui oleh sebagian besar Jawa Tengah; perlawanan keluarga-keluarga raja yang lebih tua di Jawa Timur telah dapat ditahannya.

Kekerasan kemauan dan ketangkasan yang sudah menjadi bawaannya telah merangsang kegairahan bertindak dan semangat tempur bawahannya. Penduduk daerah Mataram, yang baru pada perempat ketiga abad ke-16 dikuasai oleh Ki Pamanahan, sebagian besar terdiri dari para pendatang baru dari daerah-daerah lain di Jawa yang karena berbagai hal telah mengadu untung di luar kampung halaman mereka. Dapat diperkirakan bahwa generasi pertama dan kedua para pengadu untung di Mataram itu – berkat raja yang berkemauan keras dan haus kekuasaan – telah rela ikut berperang, dengan harapan dapat pulang membawa harta rampasan dari daerah-daerah di Jawa Timur dan di Pesisir yang dikuras habis. Laki-laki dan perempuan, yang dipaksa ikut pindah dan bekerja keras di Mataram, memungkinkan “wong Mataram” yang merdeka dengan sepenuh tenaga mengabdi pada keraton dan masuk tentara. Hal itu berlangsung di zaman pemerintahan Sultan Agung sampai pada pertengahan abad ke-17, yang menjadi dasar perkembangan kekuatan Mataram.

Sekalipun Panembahan Senapati banyak mencapai sukses di bidang politik-militer, ia tidak berhasil mendapatkan pengakuan dari raja-raja Jawa lain sebagai raja yang sederajat dan sejajar dengan mereka. Karena dari perkawinan pertamanya, ia hanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Pati. Dengan raja Pragola akhirnya ia malah bermusuhan. Perkawinan yang dipaksakan dengan putri Madiun, yang dalam cerita tutur Mataram diberitakan dengan penuh kebanggaan, malah menjatuhkan namanya di kalangan raja-raja Jawa Timur. Kecuali itu Panembahan Senapati juga mempunyai hubungan keluarga dengan keturunan Ki Giring dan Ki Kajoran, yang mempunyai hak lebih tua di Jawa Tengah bagian selatan daripada keturunan Panembahan Senapati sendiri. Tetapi mereka itu hanya memiliki sedikit kekuasaan duniawi. Anak sulung Panembahan, Raden Rangga, konon beribukan seorang putri dari istana Kalinyamat. Oleh Ratu Kalinyamat putri itu sebenarnya telah disediakan bagi iparnya, Sultan Pajang.

Menurut cerita babad dari Mataram, tidak lama sebelum meninggalnya Panembahan Senapati dengan tegas telah menunjuk anak satu-satunya yang masih hidup – anak garwa padmi putri dari Pati – Raden Mas Jolang sebagai penggantinya meskipun masih muda. Raja yang masih muda itu memang dilantik sesudah ayahnya meninggal, terutama karena pengaruh Adipati Mandaraka yang sudah tua dan yang sudah sudah lama mengabdi sebagai patih. Juga karena pengaruh Pangeran Mangkubumi, adik Panembahan Senapati. Raja kedua di Mataram itu dalam sejarah Jawa terkenal dengan nama anumertanya, Seda-ing Krapyak, karena ia meninggal pada usia cukup muda karena kecelakaan di Krapyak tahun 1613. Krapyak adalah sebuah cagar alam binatang, taman berburu.

KESIMPULAN

Secara garis besar penulis mencona menyimpulkan awal dari masuknya islam ke indonesia dan awal berkembannya kerajaan-kerajaan islam di indonesia. Karena spesifikasi kerajaan-kerajaan islam di indonesia dapat di baca lebih detail di bab sebelumnya.

Diawali pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Samudra Pasai, , Demak, Ternate, Mataram, dll. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Dengan kekuasaan mereka pun, meeka memberikan sumbangsih yang cukup penting dalampengantar peradaban islam di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

•Amal Adnan M, “Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 – 1800 Jilid I dan II”, Universitas Khairun Ternate 2002.
•Azra Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara.- Sejarah Wacana dan Kekuasaan.Jakarta: Rosda., 1999..
•Braginsky, V. I. (. Yang Indah, Yang Beifaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalain Abad 7-19. Jakarta: INIS. 1992.
•Faruqi R. Ismail. Atlas Kebudayaan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
•Pustaka. 1992.
•Gellner, Ernest. Posmodernism, Reason and Religion. London and New York:,1992.
•Hamid Ismail. Kesusastraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam. Petaling Jaya, Selangor: Fajar Bakti Sdn. Bhd, 1983.
•Hanna A. Willard, Alwi Des, “Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak”, Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996.
•Hasan Hamid Abdul, “Ternate dari abad ke abad”, Ternate 1987..
•Iskandar Teuku, Hikayat Aceh, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1958.
•Masinambow, “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa – bahasa Austronesia dan Non Austronesia”, dalam TERNATE BANDAR JALUR SUTERA, LinTas 2001
•Montana Suwedi, “Nouvelles donees sur les royaumes de Aceh”, Archipel, 53, 1997,
•Tjandrasasmita Uka. Sejarah Nasional Indonesia III: daman Pertumbuhan danPerkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: DepartemenPendidikandan Kebudayaan., 1975.
•Winstedt, R. O. (). A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpu: Oxford
•University Press. 1961.
•Yule Henry Sir, The Book of Marco Polo, II, London, 1903,.
•—————–. Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of Malaysia Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press. 1996.
•—————SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA, 2006
—————–. Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization ofMalaysia Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press. hal. 223.
Ibid.
Azyumardi Azra. Renaisans Islam Asia Tenggara.- Sejarah Wacana dan Kekuasaan.Jakarta: Rosda., 1999. hal. 18.
Braginsky, V. I. . Yang Indah, Yang Beifaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalain Abad 7-19. Jakarta: INIS. hal. 86.
SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA, 2006, hal. 26
Teuku Iskandar, Hikayat Aceh, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1958. Suwedi Montana, “Nouvelles donees sur les royaumes de Aceh”, Archipel, 53, 1997, hal. 85-9
Ibid.
Sir Henry Yule, The Book of Marco Polo, II, London, 1903, hal. 284.
SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hal. 27.
Ismail Hamid. Kesusastraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam. Petaling Jaya, Selangor: Fajar Bakti Sdn. Bhd, 1983. hal. 56.
Ibid. hal 35.
Pada abad ke-17 selama musim hujan orang dapat berlayar dengan sampan lewat tanah yang tergenang air, mulai dari Jepara sampai Pati di tepi Sungai Juwana (Graaf, Sunan Mangku Rat, jil. ke-1, hlm. 218). Pada lahun 1657 Tumenggung Pati mengumumkan, bahwa ia bermaksud menggali saluran air baru dari Demak ke Juwana, hingga Juwana akan dapat menjadi pusat perdagangan (Grad, Sunan Mangku Rat, jil. ke-1, hal. 112). Boleh jadi ia menginginkan memulihkan jalan air lama, yang satu abad yang lalu masih dapat dipakai.
Tome Pires, Suma Oriental, I, hal. 189..
Panembahan Jimbun diberitakan dalam sebuah buku cerita (serat kandha) yang isinya panjang lebar (Pigeaud, Literature, jil. II, hal. 3626 dan 363a). Yang penting untuk dikemukakan ialah bahwa dengan menyebut nama Senapati Jimbun sebagai penyusun, telah diterbitkan buku hukum yang diberi nama Salokantara (Pigeaud, Literature, jil. 1, hal. 310a). Buku ini tergolong kesusastraan abad ke-16 yang bersifat hukum. Mudah sekali dapat diduga bahwa buku ini telah disusun atas perintah raja yang paling kuasa dari dinasti Demak, mungkin raja pertama yang dapat mengetengahkan dirinya sebagai raja Islam yang berdaulat.
Uka Tjandrasasmita. Sejarah Nasional Indonesia III: daman Pertumbuhan danPerkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: DepartemenPendidikandan Kebudayaan., 1975. hal. 97.
Pangeran (atau Sunan) Bonang ialah satu di antara Sembilan Orang-orang Suci (Wali Songo), rasul-rasul dalam agama Islam, yang telah dihormati oleh orang-orang beriman dari zaman lama di Jawa Tengah. Banyak legenda diceritakan tentangnya (Pigeaud, Literature, jil. III, Indeks). Buku Sunan Bonang, secara tidak tepat oleh Dr. Schrieke (Schrieke, Bonang); dianggap sebagai karangan Sunan Bonang telah diterbitkan lagi oleh Dr. Drewes (Drewes, Admonitions).
Memang kita tertarik untuk berkesimpulan bahwa pindahnya Imam Demak yang ketiga ke Jepara itu terjadi pada saat ketika raja Jepara (mungkin Pate Unus menurut orang-orang Portugis, Adipati Sabrang Lor menurut ceritera tutur Jawa) mempunyai kekuasaan juga di Demak. Karena raja itu meninggal pada tahun 1521, tentunya perpindahan itu terjadi sebelum tahun tersebut.
Peperangan (melawan Majapahit) itu terjadi kira-kira pada tahun 1524 (chat Bab II-10). Imam yang keempat ialah imam pertama, yang diberi sebutan “pengulu”, dengan istilah pinjaman dari bahasa Melayu yang sekarang lazim dipakai di Jawa. Dapat diperkirakan, bahwa penggantian sebutan imam menjadi pengulu ini dapat dihubungkan dengan pergantian fungsi. Dengan gelar pengulu itu mungkin raja hendak menambahkan bobot yang lebih nyata lagi pada kekuasaan sekuler yang dimiliki kepala jemaah masjid. Rupanya Pengulu Rahmatullah memang benar-benar ikut bertempur di medan laga. Rahmatullah agaknya merupakan nama anumerta: “Yang telah kembali ke Rahmat Allah”.
Pangeran Kudus ini dalam sejarah Jawa Tengah pada pertengahan pertama abad ke-16 telah memainkan peranan yang cukup penting (lihat Bab 5). la juga termasuk Wali Songo, seperti sanak keluarganya yang lebih tua, yaitu Sunan Ngampel Denta dan Sunan Bonang, yang dihormati oleh orang-orang beriman zaman lama di Jawa Tengah. Sudah jelas bahwa Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16).
M. Adnan Amal, “Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 – 1800 Jilid I dan II”, Universitas Khairun Ternate 2002. hal 131.
Willard A. Hanna & Des Alwi, “Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak”, Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996. hal. 45
Ibid.
Abdul Hamid Hasan, “Ternate dari abad ke abad”, Ternate 1987. hal 76.
Prof E.K.W Masinambow, “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa – bahasa Austronesia dan Non Austronesia”, dalam TERNATE BANDAR JALUR SUTERA, LinTas 2001
Meninggalnya Panembahan Senapati pada tahun 1601 sudah dibicarakan dalam Graaf, Senapati (hal. 128 dst.). Menurut Meinsma (Babad, hlm. 209), waktu ia meninggal, ia telah menjadi raja 3 tahun lamanya. Di sini mungkin perlu dibaca 13 tahun. Tahun 1588 merupakan tahun yang penting dalam sejarah perkembangan kekuasaan Mataram di Jawa Tengah. Pada tahun 1598 tidak banyak hal penting dilaporkan
Dalam Padmasoesastra, Sadjarah Dalem (hal. 132 dst.), terdapat sebuah daftar yang memuat nama para istri dan anak (termasuk yang meninggal waktu masih muda) Panembahan Senapati. Daftar-daftar para keluarga raja-raja Mataram ini mungkin berdasarkan catatan yang berasal dari tempat tinggal para istri raja di Keraton. Karena keterperinciannya, daftar-daftar ini memberikan kesan dapat dipercaya, juga dalam hal asal usul ibu-ibu para putra raja. Setidak-tidaknya, Sadjarah Dalem itu dalam hal kerumahtanggaan keraton zaman Mataram memberikan gambaran yang agak luas, khususnya mengenai harem. Karangan tersebut mengenai zaman-zaman yang lain, kurang dapat dipercaya.
Prof E.K.W Masinambow, “Bahasa Ternate dalam konteks bahasa – bahasa Austronesia dan Non Austronesia”, dalam TERNATE BANDAR JALUR SUTERA, LinTas 2001

April 19, 2009 oleh Khaerul Umam, S.IP

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS